WiFi Syndrome Arsitektur USU


Kubuka laptop IBM R40 ku yang jelek (dan pinjaman) ini. Tekan tombol power, dan tunggu sampai Windows muncul. Kupasangkan Linksys Compact Wireless-G USB Adapter kedalam salah satu dari dua port USB yang tersedia. Kutunggu beberapa saat, muncul icon komputer dan sebentuk tanda seperti sinyal serta silang merah disampingnya di notification bar. Beberapa saat kemudian icon tersebut berubah menjadi komputer dan titik-titik yang menari-nari di sekitarnya. Selang beberapa detik kemudian, icon tersebut berubah menjadi icon komputer dengan sebentuk tanda sinyal, icon komputer tersebut berkedip-kedip dan muncul tulisan “Connected to Wireless Network: Arsitektur”. Akh…, akhirnya aku mulai mengarungi dunia maya dengan Internet Explorer dan Mozilla Firefox yang kuinstall di laptop ini.

ngenet

Sudah tiga minggu ini aku dan seluruh penghuni kampus (yang punya laptop dengan fasilitas WIFI tentunya) bisa menikmati internet gratis yang disediakan oleh kampusku melalui jaringan WLAN (Wireless LAN) atau yang sering juga disebut WiFi (Wireless Fidelity). Kecepatannya cukup lumayan. Pada siang-siang bolong, di saat lagi banyak-banyaknya orang pake intenet, kecepatannya (diukur dengan Bandwidth Monitor 2, Rokario Software, Ltd) saat browsing bisa mencapai 20-30Kbps. Lumayanlah, paling gak lebih cepat dari kecepatan telkomnet instan. Tapi kalau untuk download bisa agak rendah. Aku juga gak tau kenapa. Mungkin menurutku mungkin di router/firewall atau NATnya memang di-set untuk lebih memprioritaskan browsing dari pada download.

Dan sudah tiga minggu ini pula aku datang pagi-pagi sekali. Sekitar jam 7 atau setengah 8 aku dah sampai di kampus. Ngapain sih? DOWNLOAD…. donk. Kalo siang memang agak lambat downloadnya. Tapi kalau pagi-pagi sekali, disaat masih tukang sapu yang kuliah di kelas dan mengerjakan tugas di studio, maka kecepatan downloadnya bisa mencapai 500Kbps! Udah mantap untuk download video Rurouni Kenshin (Samurai X) kesukaanku yang besarnya sekitar 70MB per episode, hehehe….. Biasanya sekitar 30 menit kemudian datang temanku si Khairi. Aku sering menyebutnya toke Rapidshare. Karena di kampus (sepertinya…) hanya dialah yang punya account Rapidshare Premium. Nah kalo dia datang, pastilah kecepatan downloadku semakin lambat. Tapi masih aku tolerir. Toh speed-nya masih di atas 100Kbps koq. Biasanya speed-nya turun kalau sudah jam 9 ke atas. Makanya kalau sudah jam segitu. Aku berubah ke mode browsing atau messenger (atau masuk kuliah kalau dosennya masuk).

Tiga minggu yang lalu, pada saat WiFi di kampus baru dihidupkan, semua orang pada heboh. Gimana caranya supaya bisa internetan di kampus. Ada beberapa masalah saat itu.

Masalah yang paling utama adalah Access Point-nya hanya satu serta di letakkan di lantai dua dan di dalam ruang LAB Lingkungan, yang letakkan di bagian sudut gedung. Akibatnya hanya sedikit daerah yang bisa dijangkaunya diakibatkan oleh denah kampus yang berbentuk lorong. Di lantai dua saja masih ada titik-titik yang tidak bisa dijangkau WiFi. Apalagi di lantai 1…, hampir tidak bisa sama sekali! Celakanya lagi tempat paling strategis untuk WiFi (sinyalnya OK)yaitu koridor berukuran kurang lebih 4x4m di depan LAB Lingkungan, tidak ada stop kontak listriknya sama sekali. Akhirnya mahasiswa hanya bergantung pada kekuatan baterai mereka. Tapi bagaimana seperti laptopku ini yang baterianya sudah soak? Akhirnya aku beli kabel gulung yang kurang lebih 7m, lalu dengan sedikit muka tembok, aku minta izin sama Kak Novi (penjaga ruang S2, kebetulan di sebelah LAB Lingkungan) untuk numpang ambil listrik di sana. Untung saja di baik padaku dan diizinkannya.

Untuk beberapa hari keadaan cukup terkendali. Tapi ternyata semakin lama mahasiswa yang menggunakan WiFi semakin banyak. Akibatnya koridor itumenjadi sangat ramai, sehingga dosen-dosen yang mau melewati koridor tersebut agak kesal. Akhirnya Kak Novi menyuruh kami untuk menyusun meja-meja yang ada disitu agar tidak menghalangi sirkulasi. Tapi hal itu juga tidak memberikan solusi yang berarti.

Kuputuskan mencari tempat lain yang lebih baik agak aku bisa internet-an tanpa sumpek dan bising. Sebenarnya ada tempat yang baik. Yaitu studio gambar yang letaknya sekitar 5m dari LAB Lingkungan. Di sana ada listrik dan banyak stop kontaknya. Tapi sayangnya entah kenapa udah beberapa hari belakangan ini, studio tersebut digembok. Alhamdulliah, entah ada angin apa hari itu studio tersebut tidak dikunci. Jadi aku mencoba masuk dan menghidupkan komputerku disana. Ternyata sinyal yang kudapatkan lumayan. Akhirnya aku “berwarnet” disitu. Keesokan harinya, aku kulihat studio tidak dikunci. Aku masuk dan mulai berinternet. Setengah jam kemudian masuk juniorku dan bertanya, “Bang, di sini bisa Wifi ya?” Aku jawab “ya”. Dia pun masuk dan diikuti oleh beberapa temannya yang lain. Dalam waktu 2 jam studio yang luas tersebut menjadi ramai oleh mahasiswa yang Wifi. Mereka (dan saya) duduk di lantai, karena saat itu meja  gambar studio lagi tidak ada. Aku berpikir, ya udahlah kayaknya di sini memang tempat yang terbaik untuk Wifi.

Memang aku pernah tanyakan kapada Sekjur, kenapa Access Pointnya diletakkan di sudut bangunan. Dia menjawab akan diletakkan 4 unit Access Point di gedung ini. Dua di lantai 1 dan dua lagi di lantai dua. Jadi bisa mencakup seluruh area kampus. Tapi sayangnya entah kapan hal tersebut akan terwujud.

Besoknya, aku tidak datang ke kampus satu harian. Penyakit malas lagi datang. Tapi memang hari itu tidak ada kuliah, jadi gak ada masalah sebenarnya aku datang apa tidak. Lusa baru aku munculkan batang hidungku di kampus. Menaiki tangga, masuk ke studio…. Nah lho…. Studio gambar ini sudah berubah menjadi warnet. Kutanyakan kepada teman-teman ada kejadian apa kemarin saat aku tidak datang. Mereka bilang jurusan menyuruh mereka untuk memindahkan seluruh meja yang ada di depan koridor LAB lingkungan ke studio ini. Baguslah ada dukungan dari jurusan. Jadi mahasiswa merasa lebih nyaman….

ngenet di ruang wifi

Beberapa hari ini acara WiFi party berjalan dengan mulus. Ini sudah hampir 2 minggu. Jumlah laptop yang nimbrung kira-kira lebih dari 30 unit. Koneksi internet lambat (tapi untuk browsing masih acceptable). Kalo ada laptop yang baru masuk, proses masuknya lama banget. Padahal WiFi-nya tidak pake security alias “open”. Tiba-tiba sekitar jam 11 seluruh laptop disconnect, dan gak bisa nyambung sama sekali. Acquiring IP address aja ga ada. Langsung putus. Tapi SSID Arsitektur masih ada. Karena seluruh mahasiswa sepertinya kena “syndrome wifi”, maka seluruh mahasiswa menunggu mana tahu bisa nyambung lagi. Tapi kesabaran manusia ada batasnya juga. Akhirnya satu per satu mahasiswa pulang termasuk saya. Sekitar jam 5 kampus sudah kosong (padahal semenjak ada wifi kampus tu kosong waktu adzan magrib; adzan magrib medan = sekitar 6.20 – 7.35 WIB).

Keesokan harinya studio kosong. Sedikit sekali teman-teman yang duduk di situ. Yang ada hanya beberapa junior yang main Counter Strike dengan jaringan WiFi ad-hock yang mereka buat sendiri. Rasanya kampus ini mati satu harian ini tanpa WiFi.

Sore ini agak beda. Aku tidak langsung pulang ke rumah. Aku ke tempat kos teman yang bernama Richi yang jaraknya tidak begitu jauh dari kampus. Entah kenapa temanku ini ngajak buka puasa bersama di Pintu 3 USU. Katanya kepingin makan kolak duren…. Ya udah aku turuti. Setelah buka puasa, kami ke kosnya dan magrib di sana. Tiba-tiba listrik mati…. Dalam hatiku, “Dasar PLN, Ramadhan pun listrik masih aja mati.” 15 menit kemudian listrik hidup lagi. Alhamdullillah, wajah temanku yang berseri karena habis buka puasa nampak dengan jelas. Entah dari malaikat mana, ada satu hal yang tiba-tiba terpikir di benakku. Tadi WiFi gak bisa masuk sama sekali. Acquiring IP address aja gak ada. Apa mungkin Access Point-nya hang karena overload? Karena aku pernah mengalami Access Point overload karena kepanasan. Jadi saat itu aku matikan Access Point, kutunggu sampai 15 menit, lalu kuhidupkan lagi. Dan viola…., access point berjalan normal.

Apakah kasusnya sama seperti itu? Aku merasa mati lampu tadi “mengistirahatkan” access point dari segala “kegundahannya”. Aku langsung mengajak Richi balik lagi kekampus malam itu juga. Dia setuju dan kami langsung meluncur. Kami ke mushalla teknik yang kebutulan di sebelah gedung kampus kami. Temanku menghidupkan laptopnya. SSID Arsitektur masih terpancar. Dia klik connect…. Dan berhasil. Coba internet explorer, buka google.co.id, dan berhasil juga. Akhirnya kami main internet malam itu. Hujan pun turun. Menjebak kami di mushalla sampai sekitar jam 23.30.

Sampai jam 23.30 di kampus sebenarnya tidak terlalu masalah. Kami punya sejarah yang lebih panjang lagi mengenai bergadang di kampus hanya untuk WiFi. Kalau aku tidak salah, tahun 2004 Perpustakaan USU mulai memberikan fasilitas WiFi gratis kepada mahasiswanya. Saat itu yang punya laptop masih sedikit. Aku juga belum ada laptop. Jadi aku pinjam laptop kawan untuk WiFi. Mengetahui kalau siang itu lambat main internet. Maka aku mencoba main malam2. Luar biasa saat itu rasanya. Kalo siang kecepatan download hanya sekitar 15Kbps, begitu jam 22.00 tiba kecepatan download menjadi sekitar 800Kbps…! Waduh, untuk aku yang tukang download, hal itu seperti oase di padang pasir tandus. Makanya sejak itu aku sudah jadi langganan WiFi malam. Sendirian? Demi memuaskan nafsu downloadku aku tidak perduli. Aku sering bawa pisau dapur untuk jaga-jaga. Mana tau ada yang berniat buruk melihat aku sendirian membawa laptop.

Esok harinya, syndrome WiFi kembali merebak. Studio kembali ramai seperti bursa efek. Muncul kasus baru yang tidak diduga. Entah kenapa tiba-tiba listrik di stop kontak di studio mati. Tapi lampu neon yang menerangi studio masih hidup. Akibatnya sebagian stop kontak di gedung kampus mati. Kalau hal ini aku rasa ada yang korslet. Karena teman-teman rela menggunakan steker cabang sampai banyak2. Ataupun jika memang tidak korslet berarti sekringnya memang putus. Hal ini berlangsung lumayan lama. Sekitar 2-3 hari.

Kalau yang ini aku tidak tau apa solusinya. Karena aku tidak tau dimana letak fuse box nya. Hal ini aku laporkan ke sekjur. Dia menjawab, “Kalian kumpul-kumpul uang lah…, untuk beli sekring auto.” Aku cuma bisa senyum. Aku naik ke studio atas lagi. Eh ternyata listrik sudah hidup. Syukurlah ternyata si sekjur hanya bercanda.

Sampai sekarang WiFi syndrome masih merebak di kampus Arsitektur USU. Entah sampai kapan sembuhnya. Tapi jika hal itu memang untuk kemajuan, menurutku tidak ada salahnya. Semoga pendidikan dan teknologi di Indonesia bisa terus maju….

Pos ini dipublikasikan di Informasi & Teknologi, Sekedar Cerita. Tandai permalink.

4 Balasan ke WiFi Syndrome Arsitektur USU

  1. deva berkata:

    sekali-kali ganti topik donk bos….
    jangan IT mlulu intinya..
    kana ada topik gosip gtu?????

  2. Hajar berkata:

    Mantap, lucu juga nih ceritanya, tapi kurang fotonya. Pengen liat seberapa berdesakan depan lab.lingkungan itu, hehehe.. good job!

  3. devin berkata:

    he3x,…

  4. NURAINI berkata:

    AsS……pAk,,,,,,
    SaYa nUr’AiNi,SaYa sEoRaNg MaHaSiSwI
    d SN sAyA InGN mEnGaJuKaN pERmOhOnAn
    MeNgApA AcEh tAmIaNg SeLaLu
    bErBeDa dEnGaN KoTa_KoTa La cOnToH
    KeNaPa kOTa lAnGsA LeBiH MaJu dArI PaDa k,sImpNg pAdA Hal lw dI PKiR Y LeBiH MAjU AcEh tAmIaNg
    DaN BnYaK T4 rEkReAsI,,,,
    TaPi sAyAnG PaK????? gAk bIsA Di mAnFaAt qAn dEnGaN BAiK

Tinggalkan komentar